Ilmiah dan Fiksi yang Tanpa Jarak
dari-slideshare-net-5a9cc9fdf133444e081f6c92.jpg
Mungkinkah tulisan ilmiah (Laporan Penelitian, Disertasi, Jurnal) ditulis dengan gaya sastrawi? Kalau saya yang ditanya, saya akan bilang bukan hanya mungkin tapi penting. Bukankah selama ini betapa banyak karya-karya ilmiah yang bertumpuk di perpustakaan, lapuk dan dimakan rayap tanpa pernah disentuh oleh pembaca? Bahkan dengan guyon Gusdur pernah bilang;
"Andaikan makalah-makalah dan karya ilmiah dikumpul dan disusun, mungkin sudah sundul langit dan Anda bisa ke bulan hanya dengan menitinya saja".
Karya ilmiah yang tidak bisa diterapkan dan mungkin tidak menarik bagi pembaca nasibnya akan seperti kata Gusdur itu. Ya....! Anda boleh bilang, biang keroknya karena tradisi literasi masyarakat Indonesia yang sangat rendah, tapi saya juga bisa bilang karena sajian dari karya ilmiah itu terlalu cengkar.
Demi untuk kebutuhan dianggap ilmiah, tulisan yang bertema karya ilmiah itu biasanya tabu untuk memasukkan hal-hal yang bersifat sastrawi, misalnya puisi atau cerita-cerita fiksi. Jadilah tulisan tersebut hanya dipenuhi dengan kutipan teori dan bahasa canggih (karena banyak memilih diksi asing). Semakin banyak teori atau kutipan dan semakin banyak diksi asingnya, maka semakin dianggap ilmiahlah tulisan tersebut. Beberapa jurnal bahkan mempersyaratkan batas minimal yang harus dikutip. Maka jangan coba-coba menulis ilmiah dengan gaya sastrawi, Anda bisa diceramahi apa itu karya ilmiah dan yang mana karya sastra (fiksi) serta distingsi (wow...pake istilah asing nich...) antara keduanya.
Benarkah masih harus dibedakan antara karya ilmiah dan karya sastra (yang dianggap fiksi) secara tegas? Benarkah pula bahwa yang ilmiah itu harus selalu mengutip teori dan dipenuhi dengan diksi asing?
sumber-httpgoldentrophy-blogspot-co-id-5a9cc6b6bde5756bcf525734.jpg
Kita jawab dulu yang kedua. Ilmiah sebenarnya bukan soal banyaknya kutip-mengutip teori, apalagi soal menyajikan kata-kata yang banyak leksikon asingnya. Ilmiah ya....aktivitas mengumpulkan data dengan metode yang jelas serta kemampuan memerikan data dengan argumentasi yang logis. Bisa juga ditambah, karya semakin ilmiah, jika semakin bermanfaat bagi masyarakat. Soal nanti cara menulisnya sastrawi, misalnya mengambil cerita fiksi atau bahkan menyelipkan puisi, bukanlah menjadi ukuran tulisan itu dianggap tidak ilmiah. Yang penting, itu tadi, data jelas dan argumentasi masuk akal.
Kalau kita cermati penulis ilmiah ternama, semacam Amartya Sen yang pernah mendapat Nobel atas karya-karya ilmiahnya itu, dengan santai menyelap-nyelipkan puisi atau cerita-cerita fiksi dalam karya ilmiahnya. Tengoklah! kalau tidak percaya, karyanya Identity and Violence. Prolognya dimulai dengan mengambil syair dari Mathew Arnold, 'Dover Beach':
And We Are Here as on a darkling plain
Swept with confused alarms of struggle and flight,
Where ignorant armies clash by night.
Bukan hanya sampai disitu, saat Sen ingin menguar soal kenapa Kekerasan/Kebencian Bisa Merebak, lagi-lagi Ia mengutip sebait puisi Ogden Nash dalam "A Plea for Less Melice Toward None" : "Any kiddie in school can love like a fool, but hating, my boy, is an art". Sekali waktu dia bercerita dengan gaya fiksi. Misalnya Ia mengutip cerita kala Ia melancong ke wilayah Karibia tahun 1961.
Penulis hebat lainnya yang dengan santai memasukkan puisi, syair atau cerita dalam tulisannya adalah Rudyard Kipling. Ia bahkan menulis sendiri puisinya dalam "The Ballad of East and West", untuk menjelaskan soal pertarungan peradaban barat dan timur atau dalam bahasa Huntington sebagai Clash of Civilizations. Ia berpuisi begini :
"Oh.... east is east, and west is west
And never the twain shall meet
Till earth and sky stand presently at
God's great judgement seat
But there is neither east nor west, border, nor breed, nor birth,
When two strong men stand face to face though they come from the ends of earth"
Tulisan antropolog yang bertebaran, termasuk tentang Indonesia, juga selalu bernuansa sastrawi. Tulisan Gertz tentang Sabung Ayam di Bali yang dianggap sebagai salah satu karya etnografi yang bagus, bertutur renyah dan lincah laiknya karya sastra fiksi. Kita hampir tidak bisa membedakan lagi dalam alur tulisan tersebut yang mana fiksi dan mana yang ilmiah.
Sebagian malah menganggap Gertz dalam tulisannya itu, sedang menulis biografi tentang dirinya. Pengalaman dekat dia (emik) dalam bersentuhan dengan masyarakat Bali. Untuk kita ketahui, biografi senyatanya adalah cabang dari ilmu sastra dan untuk sementara sastra sendiri dianggap kental dengan fiksinya.
Begitu pun tulisan Anna Tsing soal masyarakat Dayak, Ia dengan bagus menampilkan syair tentang anak muda yang digambarkan sebagai serdadu. Begini syairnya :
Hai anak serdadu
Kemana engkau Pergi?
Belikan Aku Cerutu
Namanya Dubian Baru
Jelaslah bahwa menulis karya ilmiah secara sastrawi bukanlah persoalan. Sastrawi dalam arti bukan sekedar tulisannya yang mendayu-dayu, tetapi memasukkan unsur sastra, misalnya syair, puisi, dongeng dan cerita.
Yang paling penting digaris bawahi dalam menulis karya ilmiah sastrawi adalah untuk apa meletakkan unsur sastra dalam tulisan tersebut. Sejauh mana pentingnya dan dalam rangka apa ? Sejauh hal itu tidak out of context apalagi jika mendukung tulisan, maka justru keberadaannya menjadi penting.
***
httpwko-beriger-com-5a9cc8f6cf01b438090eb8a3.jpg
Terakhir, saya akan menjawab pertanyaan pertama di atas, soal apakah yang ilmiah dan fiksi harus dibedakan secara tajam ?
Dalam era zaman now ini (baca; post-modernisme atau post-strukturalisme) tak ada distingsi yang tegas lagi antara yang fiksi dan ilmiah. Dalam Works and Lives: The Anthropologist as Authors,Gertz secara jelas menyatakan; fakta dan fiksi memiliki kesamaan, sekaligus Ia tegaskan bahwa seorang antropolog yang menyusun karya etnografi (juga berlaku untuk para penulis ilmiah lainnya) ternyata sama saja dengan seorang pengarang sastra (novel, cerpen dan puisi). Fiksi dan fakta adalah dua hal yang tak bisa direngkah secara tegas, sementara seorang etnograf sama saja dengan seorang pengarang novel (author), kira-kira demikianlah kesimpulan Geertz. Memang sih...bagaimana pun! apa yang Anda pertahankan mati-matian sebagai sesuatu yang ilmiah dengan segenap teori dan data, tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa tidak mengandung fiksi. Sebaliknya juga demikian.
Singkatnya...., Menulislah tulisan Ilmiah dan jangan ragu menggabungkannya dengan unsur-unsur sastra yang fiksi di dalamnya! Percayalah keilmiahan tulisan Anda diukur dari sejauh mana Ia dibaca, dirujuk dan digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana karya Kyai Ihsan Jampes, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan al-Hukm al-qahwah wa al-dukhan , murni syair bermatra rajaz, namun banyak dijadikan rujukan ketika ingin memahami hukum merokok dan minum kopi, bahkan oleh orang Arab sekalipun.
Sumber : Klik Link
kompasiana.com
Penulis : Syamsurijal Ijhal Thamaona